MENGELOLA DIRI SENDIRI

MENGELOLA DIRI SENDIRI

Oleh: Rino Desanto W.

Pepatah mengatakan semua bermula dari diri sendiri. Memang benar, segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia luar harus dimulai dari diri sendiri. Individu yang ingin menjalin komunikasi sosial dimulai dari diri sendiri. Konkritnya, kita tidak mungkin bisa mendisiplinkan orang lain bila kita sendiri tidak disiplin.

Pemimpin tidak akan memiliki kharisma bila tidak berkharakter. Bila pimpinan dapat memeberikan contoh baik dalam kehidupan sehari-hari, karyawan atau anak buah akan akan melaksanakan tugas dengan ikhlas, mereka patuh tetapi bukan karena takut. Bawahan merasa malu datang terlambat, oleh karena pimpinan selalu hadir tepat waktu. Bawahan merasa berdosa mencuri uang negara, oleh karena pimpinan menunjukan kearifan.

Intinya kita dapat mengelola orang lain, bila kita telah dapat mengelola diri sendiri. Mulai dari mengelola waktu untuk kegiatan sehari-hari dengan skala prioritas. Sampai dengan memotivasi diri sendiri dan kemudian mengevaluasi diri. Mengelola diri sendiri merupakan ujung tombak dalam praktik mengelola orang lain.

Mengelola diri sendiri bisa diajarkan sejak dini. Anak dibiasakan dengan kegiatan yang terpola. Apa saja yang menjadi kebutuhannya, mulai dari bermain air, bermain tanah, berimajinasi dengan mainannya, sampai waktu untuk istirahat dan makan, diberikan sesuai dengan porsinya. Anak diberikan kebebasan melakukan aktifitas sesuai kebutuhannya, tetapi tetap dalam koridor usianya. Sementara itu orang tua berperan mengawasi aktifitas anak agar tidak keluar pagar atau rambu-rambu waktu. Setiap aktifitas memiliki waktu masing-masing tanpa mengurangi waktu istirahat anak.

Manusia menjadi seperti apa yang dimakan. Kebiasaan yang dilakukan sejak kecil akan menjadi kuat setelah dewasa. Disiplin sejak dini, akan membuahkan pola hidup disiplin di masa berikutnya. Pengajaran bagaimana menghargai orang lain sejak masih anak, akan menjadikan orang tanggap terhadap apa yang menjadi keluh kesah orang lain.

Buah yang kita makan sekarang adalah hasil pohon yang telah lama kita tanam. Mungkin saja buah yang kita makan terasa pahit. Itu masih lebih baik dari pada tidak merasakan pahit, padahal buah itu benar-benar pahit. Dengan menyadari bahwa buah yang dimakan terasa pahit, maka dapat mendorong untuk melakukan aktifitas yang dapat mengurangi rasa pahit. Saat menyadari ada yang salah dengan diri kita, maka kesadaran tersebut dapat digunakan sebagai pijakan dalam memperbaiki diri.

Tahu kapan harus duduk dan kapan harus berdiri. Tahu kapan harus memakai pakaian sopan dan kapan memakai baju seksi. Bisa menjadi pendengar yang baik dan di saat lain bisa menjadi pembicara yang baik. Dalam mengelola diri sendiri sebaiknya seseorang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi. Bisa mengikuti jalannya air tanpa harus terseret arus air.

Ada baiknya seseorang tidak hanya memandang ke depan tetapi juga ke bawah dan ke atas. Ada ketetapan akan tujuan, jelas kemana arah yang hendak dituju, apa yang hendak diraih. Dalam perjalanan ada kalanya harus istirahat, bukan untuk berhenti atau kembali tetapi untuk memulihkan tenaga dan melanjutkan perjalanan berikutnya dengan semangat penuh.

Sesekali dibutuhkan menengok ke belakang, untuk mengetahui apa saja yang telah dilakukan dan apa yang belum dilakukan. Memandang ke bawah juga di perlukan agar tahu apakah ada kerikil yang bisa membuat tersandung, agar perjalanan mencapai tujuan tidak sampai menginjak kepala orang yang sedang ada dibawah.

Banyak hal terjadi diluar dugaan, tanpa pernah terpikirkan sebelumnya. Itulah keterbatasan manusia, hidup di saat sekarang, tidak mampu melihat apa yang akan terjadi. Hanya kepada Yang Maha Kuasa mohon petunjuk atas hari esok dan berterima kasih atas apa yang telah terjadi

Percaya diri dalam banyak hal dibutuhkan, terutama dalam hubungan sosial, dan menjalin komunikasi dengan orang lain. Tetapi mungkinkah seseorang dapat memberikan kepercayaan kepada orang lain atau mendelegasikan wewenang kepada orang lain sementara percaya diri yang dimiliki rendah?

Tidak mungkin memberikan air satu gelas es sementara air yang dimiliki hanya secangkir kopi. Demikian juga dengan percaya diri. Mendelegasikan wewenang kepada orang lain, berarti melimpahkan pekerjaan kepada orang lain. Untuk itu terlebih dahulu harus percaya bahwa orang tersebut mampu melakukan pekerjaan yang diberikan. Boleh jadi orang tersebut memang mampu, akan tetapi pendelegasian tidak mungkin berhasil baik bila masih diselimuti keraguan dalam pendelegasian.

Keraguan ini disebabkan karena rasa percaya diri yang kurang. Dibutuhkan percaya diri yang lebih agar dapat memberikan kepercayaan kepada orang lain. Percaya diri akan terpupuk dengan bertambahnya ilmu, dengan bertambahnya kemampuan memandang sesuatu dari segala sisi. Percaya diri adalah gerobak dan ilmu adalah kuda dari sebuah pedati. Semakin luas ilmu seseorang semakin kuat kepribadiannya.

Rendahnya percaya diri juga tampak dari cara pandang sesorang terhadap keberhasilan orang lain, cenderung memandang dari sisi negatif disertai cemburu atau iri. Percaya diri yang kuat, tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang kurang prinsip. Orang dengan percaya diri yang kuat akan tampil dengan kediriannya.

Kegagalan atau pengalaman yang tidak menyenangkan dapat digunakan sebagai cermin dalam memperbaiki percaya diri. Hindarkan diri melompati banyak anak tangga agar tidak jatuh. Menapak satu persatu anak tangga, agar tidak jatuh dan kaki mejadi semakin kuat. Demikian juga dalam memulihkan percaya diri. Lakukan aktifitas yang mampu kita lakukan dan berikutnya lakukan aktifitas satu tingkat lebih tinggi dari aktifitas sebelumnya yang telah berhasil, dan seterusnya.

(Telah DIterbirkan di Kridha Rakyat)

Tinggalkan komentar